Sejarah Singkat Javascript

JavaScript: Dari Coba-Coba Jadi Raja Dunia Web
Kalau kita ngomongin teknologi web modern, nggak bakal bisa lepas dari yang satu ini: JavaScript. Si bocah nakal dari tahun 1995 ini awalnya diragukan, dicemooh, bahkan dianggap “bahasa main-main.” Tapi lihat sekarang: semua orang, dari dev front-end sampe AI engineer, gak bisa lepas darinya.
Kisah JavaScript dimulai dari kantor Netscape, tepatnya pada Mei 1995. Brendan Eich, programmer dengan latar belakang Scheme dan C++, diminta bikin bahasa scripting dalam waktu cuma... sepuluh hari. Beneran sepuluh hari. Targetnya? Bikin web jadi interaktif. Bukan cuma teks dan gambar doang.
Nama awal bahasa ini adalah Mocha. Gak lama, diganti jadi LiveScript, dan akhirnya—secara mengejutkan—dijuluki JavaScript. Kenapa? Strategi marketing. Saat itu Java lagi hype banget. Jadi ya, nebeng aja sekalian.
Padahal, Java dan JavaScript ibarat kucing sama singa: sama-sama mamalia, tapi beda dunia. Java bersifat statis dan kompilatif, JavaScript dinamis dan interpreted. Tapi branding udah kadung nempel, dan sisanya tinggal sejarah.
JavaScript mulai muncul di browser Netscape Navigator 2.0, dan Microsoft nggak tinggal diam. Mereka bikin versi sendiri: JScript. Hasilnya? Browser war pecah. Script yang jalan di Netscape bisa error di Internet Explorer. Saat itulah dev mulai kenal istilah “cross-browser headache.”
Untuk menghindari kekacauan lebih lanjut, tahun 1996 Netscape bawa JavaScript ke ECMA International. Lalu pada Juni 1997, lahirlah ECMAScript—standar resmi bahasa ini. Jadi walau namanya beda-beda di browser, dasarnya tetep sama.
Versi awal ECMAScript nggak terlalu signifikan, tapi ES3 di tahun 1999 bawa banyak fitur penting: statement `try/catch`, ekspresi regular (regex), dan `switch`. Nah, ini mulai bikin JavaScript lebih serius dan bisa dipakai buat aplikasi beneran.
Sementara itu, perkembangan JavaScript sempat stagnan. Rencana ES4 sempat ambisius banget, tapi terlalu kompleks dan akhirnya dibatalkan. Baru pada 2009, ES5 hadir dengan banyak pembaruan: `strict mode`, JSON bawaan, dan metode array modern kayak `forEach()` dan `map()`.
Titik balik besar lainnya datang dari Google. Tahun 2008, mereka bikin V8, mesin JavaScript supercepat buat browser Chrome. Ini bukan cuma ngebut doang, tapi ngebuka jalan buat JavaScript jadi bahasa general-purpose. Salah satunya: Node.js.
Node.js, karya Ryan Dahl, muncul 2009 dan bikin JavaScript bisa jalan di server. Gak cuma bikin tombol doang, sekarang lo bisa bikin server, API, database handler—semuanya pakai JavaScript. Dunia coding langsung gonjang-ganjing.
Lalu datanglah era ES6 (alias ES2015), dan ini seperti revolusi industri versi bahasa pemrograman. Fitur-fitur seperti `let`, `const`, arrow function, class, template literals, promise—semuanya memperkaya JS modern. Udah kayak bahasa OOP beneran.
Sejak 2016, pembaruan ECMAScript jadi rutin setiap tahun. ES2016 hadir dengan operator eksponensial `**`. ES2017 kenalkan `async/await`. ES2018 support rest/spread object, dan masih lanjut sampe sekarang.
Komunitas JavaScript juga makin gila. Tools kayak Babel muncul untuk bantu kompatibilitas antar-browser. Linter kayak ESLint, bundler semacam Webpack, dan transpiler lainnya bikin workflow dev makin kompleks tapi powerful.
Framework juga jadi bagian sejarah. jQuery jadi penyelamat di era 2006–2010 karena bantu deteksi DOM dan AJAX. Lalu muncul AngularJS (Google), React (Facebook), dan Vue (independen). Mereka bawa pendekatan arsitektur komponen, virtual DOM, dan reactive programming ke web.
Gak berhenti di browser, JavaScript juga mulai merambah ke luar: Electron buat desktop app, React Native buat mobile app, hingga IoT device pake Johnny-Five. Bahkan sekarang bisa buat machine learning via TensorFlow.js.
Standar ECMAScript dikawal oleh Technical Committee 39 (TC39), berisi perwakilan dari Google, Mozilla, Microsoft, Apple, dan lainnya. Mereka ngeluarin proposal baru dengan proses ketat: dari stage 0 sampai stage 4 sebelum diadopsi resmi.
JavaScript juga jadi bahan studi akademik. Beberapa paper dari ACM, IEEE, dan universitas ternama seperti Stanford dan Cambridge membahas performa, keamanan, serta evolusi semantiknya. Termasuk soal *type inference*, *dynamic scoping*, dan efek backward compatibility terhadap kompleksitas kode.
Meski awalnya gak dirancang buat skala besar, JavaScript sekarang dipakai di perusahaan enterprise, startup, bahkan lembaga pemerintahan. Semua itu berkat kombinasi: standar terbuka, komunitas global, dan tools yang terus berkembang.
Perjalanan dari skrip 10 hari yang dibikin buru-buru, kini jadi fondasi teknologi digital dunia. Web 2.0, Web 3.0, hingga metaverse sekalipun gak bisa jalan tanpa JavaScript di balik layar.
Hari ini, belajar JavaScript bisa dibilang langkah wajib buat siapa pun yang mau masuk dunia teknologi. Entah lo mau jadi front-end dev, back-end, atau full-stack, JavaScript selalu jadi entry point yang relevan dan berdaya tahan tinggi.
Kesimpulan
JavaScript udah jauh berkembang dari akar awalnya sebagai skrip sederhana buat manipulasi DOM. Dari proyek kilat Brendan Eich di Netscape, dia tumbuh jadi bahasa pemrograman yang mendominasi web, masuk ke desktop, server, IoT, hingga AI. Evolusi ini terus didorong oleh inovasi komunitas, dukungan industri besar, serta fondasi akademik yang kuat. JavaScript bukan cuma bertahan—dia terus berevolusi dan menetapkan dirinya sebagai fondasi internet modern.
- Sumber Akademik:
- JavaScript: The First 20 Years – ACM Digital Library
- ECMAScript Evolution: From Scripting Language to Programming Powerhouse – arXiv
- ECMAScript Language Specification – ECMA International
- Trace-based Compilation for the Web – Google Research
- JavaScript – Wikipedia (dengan rujukan akademik)